BERLARI UNTUK MEDALI EMAS
Ruth Barden
Tahun 1967 saya masih berumur sembilan tahun, saat HUT negara Kanada. Saya berlari dengan kencang saat pulang karena sudah tidak sabar untuk memberitahukan adanya kejuaraan olah raga nasional yang baru saja disampaikan oleh guru di sekolah. Yang dipertandingkan adalah lari, lompat , sit up dan yang lain, saya berusaha menjelaskannya pada ayah, Saya mau ikut untuk memenangkan medali emas seperti di Olimpiade!
Saat makan malam saya kembali menjelaskan hal itu kepada ayah dan ibu dibantu oleh kakak perempuan saya Nancy. Tetapi saya tahu, saya tidak cukup tangguh untuk lari jarak jauh, jadi saya bertanya pada ayah bagaimana cara mengatasinya. Bagaimana kalau kita berlatih? saran ayah. Kita bisa pergi sore hari ke lapangan baseball di SMU dekat rumah dan berlatih di sana.
Apakah kita bisa mulai nanti malam? tanya saya dengan penuh semangat.
Kami meninggalkan rumah dengan bergandeng tangan sambil asyik berbicara. Saya hampir berlari untuk mengimbangi langkah kaki ayah yang panjang. Segera gedung SMU mulai terlihat, sangat megah bila dibandingkan dengan gedung SD saya. Kami memasuki gerbang dan segera menuju lapangan baseball, yang disekelilingnya terdapat track untuk berlari.
Saya harus berlari mengelilingi lapangan ini, dan nanti ayah yang menghitung waktunya – apakah saya bisa mendapat medali emas, perak atau perunggu. Tapi kelihatannya jauh sekali, kata saya.
Dicoba dulu saja, kata ayah sambil tersenyum. Kamu harus pemanasan dulu dengan jalan cepat. Ayo dimulai dari sini. Ayah menunjuk garis start, dan mulai menyertai saya untuk melakukan pemanasan.
Setelah dirasa cukup, kami kembali lagi ke garis start. Bersiap – LARI! kata ayah. Ayah ikut berlari di samping saya, dan saya berlari dengan kencang untuk mendahului ayah. Tapi baru setengah putaran saya berhenti karena tidak kuat lagi, Saya tidak sanggup Ayah. Bahkan belum setengah lapangan saya sudah kalah!
Masalahmu adalah di timing. Kamu harus mengatur irama lari supaya bisa menyelesaikan seluruh putara. Ayo kita coba lagi. Pertama berlari pelan saja, kemudian dipertahankan pada kecepatan yang tetap sampai setengah putaran. Baru pada akhir putaran kamu berlari kencang untuk mencapai finish. Kita lihat apakah strategi ini berhasil. Ayah menjelaskan bagaimana menjaga timing berlari saat kami kembali ke garis start. Kami berdua mulai lagi berlari perlahan, dan pelatih saya memberi aba-aba seperti, Ya, bagus, sekarang lebih cepat, ayo bernafas dengan teratur. Pada latihan yang kedua ini saya bisa mencapai setengah lapangan lebih, tetapi kembali kecepatan lari saya turun. Ayo, kamu harus berusaha keras sekarang, teriak ayah, dan saya berusaha mematuhinya. Kita sudah hampir sampai! dan benar, akhirnya kita berdua bisa menyelesaikan satu putaran penuh.
Setiap malam selama dua minggu saya dan ayah berjalan ke track lari di SMU dan berlatih paling sedikit dua putaran.
Perlahan-lahan saya mulai kuat dan hasilnya mulai lebih bagus. Saya senang, karena ayah selalu ikut berlari di samping saya selama latihan.
Akhirnya hari pertandingan itu tiba. Saat itu hari Sabtu. Matahari bersinar dan cuacanya cukup hangat. Seluruh keluarga bersiap-siap untuk mendukung saya dalam perlombaan ini. Sedangkan saya sendiri gugup menghadapi kejuaraan yang baru pertama kali saya ikuti. Ayah, ayo berangkat. Sekarang mungkin yang datang sudah mulai penuh, saya memanggil ayah dan yang lain untuk segera berangkat. Karena bersemangat, perjalanan kami terasa singkat. Saat sampai di stadion olah raga, sudah ada ratusan orang yang datang dan tempat parkir penuh dengan mobil. Saya bersiap di samping lapangan, dan akhirnya pengeras suara memanggil para pelari untuk masuk ke lintasannya. Semuanya bersiap di belakang garis start, kata pemimpin pertandingan. Ayah berdiri di luar lintasan, ikut mengarahkan saya untuk mengambil posisi dengan benar. Saya merasakan suasana yang aneh, karena banyaknya penonton dan ada pelari lain di samping kanan dan kiri saya. Saya melihat ke sebelah kiri luar lapangan, ayah mengamati sambil tersenyum. Dia berkata, Lakukan seperti waktu latihan. Pertama pelan saja – pasti kamu berhasil.Siaap, DOR, dan lomba lari dimulai. Saya mulai berlari perlahan dan melihat semua lawan saya berlari kencang di depan meninggalkan saya. Saya mendengar suara ayah di dalam kepala berkata, Ya betul, start yang bagus. Sekarang pertahankan kecapatan pada separo lapangan dan berlari dengan irama tetap. Saya berlari dengan mempertahankan kecapatan yang tetap dan lawan-lawan saya yang tadinya mendahului saat start mulai saya susul dan saya tinggalkan. Setelah separo lapangan terlewati dengan baik, saya kembali mendengar suara ayah yang tegas, Sekarang berusaha, keluarkan semua kemampuan untuk mencapai garis finish. Saya mulai menambah kecepatan dan menggunakan lambaian tangan untuk memompa energi pada lintasan terakhir ini. Saat saya melintasi garis finish terdengar sorakan penonton yang riuh, dan saya melihat ibu dan kakak perempuan saya di dekat garis lintasan melambai-lambaikan tangan kegirangan. Saat saya melambatkan lari untuk cooling down, saya sekali lagi melirik di sisi kiri luar lapangan – dan saya melihat ayah! Segera saya menyadari bahwa ayah tidak berada di dekat garis lintasan bersama ibu dan kakak saya. Apa yang saya dengar selama saya berlari itu adalah benar-benar suara ayah sendiri! Ayah ikut berlari di luar lintasan mengikuti disamping saya dari awal sampai garis finish. Saat pemenangnya diumumkan, hadiah medali emas sebenarnya bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk ayah yang ikut memenangkan pertandingan.
Saat makan malam saya kembali menjelaskan hal itu kepada ayah dan ibu dibantu oleh kakak perempuan saya Nancy. Tetapi saya tahu, saya tidak cukup tangguh untuk lari jarak jauh, jadi saya bertanya pada ayah bagaimana cara mengatasinya. Bagaimana kalau kita berlatih? saran ayah. Kita bisa pergi sore hari ke lapangan baseball di SMU dekat rumah dan berlatih di sana.
Apakah kita bisa mulai nanti malam? tanya saya dengan penuh semangat.
Kami meninggalkan rumah dengan bergandeng tangan sambil asyik berbicara. Saya hampir berlari untuk mengimbangi langkah kaki ayah yang panjang. Segera gedung SMU mulai terlihat, sangat megah bila dibandingkan dengan gedung SD saya. Kami memasuki gerbang dan segera menuju lapangan baseball, yang disekelilingnya terdapat track untuk berlari.
Saya harus berlari mengelilingi lapangan ini, dan nanti ayah yang menghitung waktunya – apakah saya bisa mendapat medali emas, perak atau perunggu. Tapi kelihatannya jauh sekali, kata saya.
Dicoba dulu saja, kata ayah sambil tersenyum. Kamu harus pemanasan dulu dengan jalan cepat. Ayo dimulai dari sini. Ayah menunjuk garis start, dan mulai menyertai saya untuk melakukan pemanasan.
Setelah dirasa cukup, kami kembali lagi ke garis start. Bersiap – LARI! kata ayah. Ayah ikut berlari di samping saya, dan saya berlari dengan kencang untuk mendahului ayah. Tapi baru setengah putaran saya berhenti karena tidak kuat lagi, Saya tidak sanggup Ayah. Bahkan belum setengah lapangan saya sudah kalah!
Masalahmu adalah di timing. Kamu harus mengatur irama lari supaya bisa menyelesaikan seluruh putara. Ayo kita coba lagi. Pertama berlari pelan saja, kemudian dipertahankan pada kecepatan yang tetap sampai setengah putaran. Baru pada akhir putaran kamu berlari kencang untuk mencapai finish. Kita lihat apakah strategi ini berhasil. Ayah menjelaskan bagaimana menjaga timing berlari saat kami kembali ke garis start. Kami berdua mulai lagi berlari perlahan, dan pelatih saya memberi aba-aba seperti, Ya, bagus, sekarang lebih cepat, ayo bernafas dengan teratur. Pada latihan yang kedua ini saya bisa mencapai setengah lapangan lebih, tetapi kembali kecepatan lari saya turun. Ayo, kamu harus berusaha keras sekarang, teriak ayah, dan saya berusaha mematuhinya. Kita sudah hampir sampai! dan benar, akhirnya kita berdua bisa menyelesaikan satu putaran penuh.
Setiap malam selama dua minggu saya dan ayah berjalan ke track lari di SMU dan berlatih paling sedikit dua putaran.
Perlahan-lahan saya mulai kuat dan hasilnya mulai lebih bagus. Saya senang, karena ayah selalu ikut berlari di samping saya selama latihan.
Akhirnya hari pertandingan itu tiba. Saat itu hari Sabtu. Matahari bersinar dan cuacanya cukup hangat. Seluruh keluarga bersiap-siap untuk mendukung saya dalam perlombaan ini. Sedangkan saya sendiri gugup menghadapi kejuaraan yang baru pertama kali saya ikuti. Ayah, ayo berangkat. Sekarang mungkin yang datang sudah mulai penuh, saya memanggil ayah dan yang lain untuk segera berangkat. Karena bersemangat, perjalanan kami terasa singkat. Saat sampai di stadion olah raga, sudah ada ratusan orang yang datang dan tempat parkir penuh dengan mobil. Saya bersiap di samping lapangan, dan akhirnya pengeras suara memanggil para pelari untuk masuk ke lintasannya. Semuanya bersiap di belakang garis start, kata pemimpin pertandingan. Ayah berdiri di luar lintasan, ikut mengarahkan saya untuk mengambil posisi dengan benar. Saya merasakan suasana yang aneh, karena banyaknya penonton dan ada pelari lain di samping kanan dan kiri saya. Saya melihat ke sebelah kiri luar lapangan, ayah mengamati sambil tersenyum. Dia berkata, Lakukan seperti waktu latihan. Pertama pelan saja – pasti kamu berhasil.Siaap, DOR, dan lomba lari dimulai. Saya mulai berlari perlahan dan melihat semua lawan saya berlari kencang di depan meninggalkan saya. Saya mendengar suara ayah di dalam kepala berkata, Ya betul, start yang bagus. Sekarang pertahankan kecapatan pada separo lapangan dan berlari dengan irama tetap. Saya berlari dengan mempertahankan kecapatan yang tetap dan lawan-lawan saya yang tadinya mendahului saat start mulai saya susul dan saya tinggalkan. Setelah separo lapangan terlewati dengan baik, saya kembali mendengar suara ayah yang tegas, Sekarang berusaha, keluarkan semua kemampuan untuk mencapai garis finish. Saya mulai menambah kecepatan dan menggunakan lambaian tangan untuk memompa energi pada lintasan terakhir ini. Saat saya melintasi garis finish terdengar sorakan penonton yang riuh, dan saya melihat ibu dan kakak perempuan saya di dekat garis lintasan melambai-lambaikan tangan kegirangan. Saat saya melambatkan lari untuk cooling down, saya sekali lagi melirik di sisi kiri luar lapangan – dan saya melihat ayah! Segera saya menyadari bahwa ayah tidak berada di dekat garis lintasan bersama ibu dan kakak saya. Apa yang saya dengar selama saya berlari itu adalah benar-benar suara ayah sendiri! Ayah ikut berlari di luar lintasan mengikuti disamping saya dari awal sampai garis finish. Saat pemenangnya diumumkan, hadiah medali emas sebenarnya bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk ayah yang ikut memenangkan pertandingan.
Jadi jika kamu tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepadaNya (mt7:11)
PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam)
Comments