DUA PENODONG DAN SATU ALKITAB
Sam Johnson seorang penjual Alkitab. Penjual Alkitab di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20 itu kebanyakan orang kulit putih, tetapi Sam orang kulit hitam. Biasanya ia disambut dengan gembira oleh rakyat berkulit hitam di negara bagian North Carolina, yakni daerah perdagangannya itu. Kebanyakan orang Negro di daerah pertanian itu agak miskin; jarang mereka sanggup membeli sebuah Alkitab. Itu sebabnya Sam Johnson cukup banyak membawa Kitab Perjanjian Baru, serta Injil-Injil dan kitab-kitab lainnya yang dicetak dan dijilid tersendiri. Bagian-bagian Firman Allah yang harganya lebih murah itu cukup banyak yang laku. Sam mempunyai sebuah mobil tua yang dipergunakan untuk pergi berkeliling sambil menjual Alkitab. Banyak Alkitab lengkap, Kitab Perjanjian Baru, dan Injil disusun dengan rapi di dalam dos-dos, lalu diletakkan di dalam mobilnya. Sam tidak suka kalau harus sering kembali ke agen grosir untuk menambah persediaan barang cetakan berupa Firman Allah itu. Mobil Sam itu cukup besar, sehingga dapat juga memuat persediaan makanan. Sering ia pergi berjualan Alkitab ke daerah yang jarang terdapat kedai makanan. Jadi, menjelang tengah hari Sam suka mencari tempat yang sepi, lalu di situ ia makan bekal yang dibawanya sendiri. Pada suatu hari Sam Johnson sedang menyetir mobilnya di jalan pegunungan yang sunyi. Di mana-mana terdapat hutan dan semak belukar. Jika ia terus menelusuri jalan raya sampai menemui sebuah rumah makan, jam makan siang pasti sudah jauh lewat. Lagi pula, Sam sudah bekerja keras sejak pagi. Ia merasa capai, dan ingin sekali beristirahat. Itu sebabnya Sam membelokkan mobilnya ke sebuah lorong kecil. Walau lorong itu cukup sempit, Sam terus menelusuri sampai kira-kira tiga kilometer dari jalan raya. Di sana, di tengah-tengah hutan belukar, ia menemukan suatu tempat terbuka. Ternyata di situ rumah petani. Tetapi rumah itu sudah lama musnah, hanya tinggal lubang bekas ruang di bawah tanah yang ditumbuhi alang-alang yang tinggi. Nah, ini dia, kata Sam kepada dirinya sendiri. Tempat terbuka itu cukup luas sehingga dengan mudah ia dapat memutar mobilnya. Lalu ia mematikan mesin, turun, mengeluarkan bekalnya, dan terus menyantap sampai kenyang. Seusai makan Sam memperhatikan sebuah batu datar besar yang tergeletak di dekat sebatang pohon, seolah-olah tempat duduk alamiah. Sam duduk di atas batu itu dan menyandarkan punggungnya pada pohon. Beberapa saat kemudian, matanya sudah tertutup dan ia pun tertidur. Ada suara yang membangunkan dia. Ia membuka matanya. Lalu ia benar-benar siuman. Dua orang asing berdiri di depannya, dan salah seorang di antaranya menodongkan pistolnya ke arah Sam. "Hei, cepat, kamu, berdiri!" Sam melompat berdiri. Kedua orang itu bermuka bengis; Sam sama sekali tidak mau membangkitkan amarah mereka. "Cepat buka dos-dos di dalam mobil itu! Dan jangan bikin gaduh, nanti kamu kontan mati!" Walaupun salah satu dos itu diikat dengan simpul tali yang kuat, namun Sam membuka semuanya dengan cepat, seolah-olah mau mencapai rekor baru. Penodong yang kedua mendekati mobil, "Kamu ke sana!" perintahnya. Sam segera meninggalkan mobilnya. Ia sama sekali tidak mau berbantah-bantah dengan kedua orang itu. Dengan ketat Sam dijaga oleh penodong yang memegang pistol itu. Penodong yang seorang lagi memeriksa muatan di dalam mobil, dos demi dos. "Kok . . . aneh," kata penodong kedua itu. "Apa sih isinya?" tanya penodong pertama, kurang sabar. "Alkitab! Alkitab melulu! Seumur hidup belum pernah kulihat sekian banyak Alkitab!" "Alkitab!" Penodong pertama membeo dengan nada jengkel. Lalu ia menegur Sam lagi. "Kamu penjual Alkitab?" "Betul, Tuan," jawab Sam, sangat sopan. Penodong pertama itu kelihatan bingung. Ia menurunkan pistolnya. "Siapa namamu? Tadinya kami bermaksud membunuhmu." "Sam Johnson, Tuan." Seolah-olah maksud jahatnya itu sudah berubah dan pistolnya itu tidak lagi diarahkan ke kepala Sam. Penodong pertama itu terus berbicara: "Yah, Sam, tadinya kami akan membunuhmu. Kau tahu, kami baru lolos, sehabis, yah..., sehabis beraksi dan kami mau melarikan diri ke negara bagian Florida. Kami perlu mobil. Kami melihat kamu duduk-duduk santai di bawah pohon, jadi kami bermaksud membunuhmu, mengambil mobilmu, dan terus amblas." Penodong kedua itu memandang temannya dengan heran. "Kok . . . kenapa sih ngomong terus? Ayo kita berangkat 'aja!" "Nanti dulu, nanti dulu," kata pemimpin kedua penodong itu. Ia mendekati mobil Sam dan menggapai sebuah Alkitab. "Yah . . . aneh, kamu penjual Alkitab. Bertahun-tahun aku tidak melihat Alkitab." Ia membuka-buka Alkitab itu. "Ibuku dulu sangat baik, . . ." katanya, seolah-olah sedang melamun. "Ibuku dulu suka membacakan Alkitab kepadaku. Sejak ibuku meninggal, sedikit sekali kupikirkan tentang hal itu." Penodong kedua itu duduk pada batang pohon yang sedang roboh. Rupaya ia kurang mengerti apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak mengapa, perannya dalam "aksi" yang baru saja mereka laksanakan itu sepele saja; sebenarnya ia tidak begitu pusing, apakah mereka berhasil melarikan diri ke tempat yang jauh atau tidak. Pemimpin kedua penodong itu menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Sekali lagi ia membolak-balikkan halaman Alkitab. "Yah, aku masih ingat . . .," katanya hampir berbisik.Hening sejenak . . . . Berkas-berkas matahari yang menembus dahan-dahan pohon pines itu menyinari tempat terbuka bekas halaman rumah petani. Cahaya matahari itu menyentuh Sam yang sedang mengawasi keadaan, . . . menyentuh sebuah pistol yang diletakkan di atas kap mobil, . . . menyentuh seorang penodong yang asyik mengenang kembali cerita-cerita yang pernah digemarinya dulu semasa kecil. Sam memperhatikan tangan penodong itu mengusap matanya. Ternyata kenangan lama itu telah menitikkan air mata. Sam berlutut di atas rerumputan. Bila berdoa ia sudah biasa berlutut, dan sekarang ia merasa sudah saatnya untuk berdoa. Dalam hati ia mendoakan orang itu, yang sedang mengenang masa ia menjalani kehidupan yang benar. Siapa tahu, mungkin orang ini masih sempat meninggalkan kejahatannya serta kembali ke jalan yang benar.Tempat terbuka di tengah-tengah hutan belukar itu menjadi sangat tenang. Lalu pemimpin kedua penodong itu memperhatikan bibir Sam yang sedang bergerak-gerak, mata Sam yang sedang tertutup, lutut Sam yang sedang bertekuk. "Yah, doakan aku Sam," katanya. Suaranya hampir menjadi halus, lain sekali dengan suaranya semula yang sangat bengis itu. "Aku sungguh perlu didoakan. Dan sesudah kamu mendoakan diriku, ayo masuklah ke dalam mobilmu dan pergilah." Orang yang kedua itu seolah-olah mau menyela, tetapi pemimpin penodong memberi isyarat supaya ia diam. "Gara-gara kami beraksi tadi, mungkin sekali orang yang berhasil menangkap kami berdua akan mendapat hadiah yang cukup besar," katanya. Ia menelan ludah, seakan-akan belum pasti apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Tetapi orang yang berhasil mengikuti pesan Alkitab akan mendapat hadiah lebih besar lagi." Pemimpin kedua penodong itu tersenyum ke arah Sam Johnson. "Jangan khawatir, Sam," katanya. "Kamu tidak akan melihat aku menodong lagi. Lihat!" Ia melemparkan pistolnya ke dalam lubang besar yang dulu bekas ruang di bawah tanah dari rumah petani. "Sebaiknya kamu pergi sekarang, Sam. Dan jangan lupa, terus berdoa untuk kami. Siapa tahu, mungkin kami berdua akan kembali menjadi orang yang berguna!" Sam segera mendekati mobilnya dan duduk di belakang setir. Ia menghidupkan mesin. Pelan-pelan ia menyetir mobilnya sehingga kembali menghadap ke jalan raya. Tetapi sebelum memasukkan persneling, ia pun menoleh ke belakang, ke arah kedua penodong tadi. Kini kedua-duanya duduk di atas batang pohon yang sudah roboh. Pemimpin kedua penodong itu sedang membacakan Alkitab kepada teman-temannya. Suaranya jelas terdengar melalui udara siang yang panas itu; ia sedang membaca Kitab Yesaya, pasal 55: "Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! . . . Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; Dengarkanlah, maka kamu akan hidup!" Sam Johnson menganggukkan kepalanya pada saat mobilnya mulai bergerak meluncur di lorong yang sepi itu. "Mereka akan kembali ke jalan yang benar. Mereka akan menjadi orang-orang yang berguna." Entah mengapa, . . . Sam merasa yakin betul atas firasatnya itu. Dengan lemah lembut Sam Johnson menyanyikan sebuah lagu rohani kuno pada saat ia kembali ke jalan raya untuk meneruskan perjalanannya. ------------ (yTH.HS)
Comments