Alasan Untuk Merayakan
Oleh Janet Lynn Mitchell
Saya meninggalkan suami saya, Marty, di rumah sakit menggantikan saya menjaga kedua anak saya yang sedang dirawat untuk pergi ke toko swalayan. Karena sudah hampir jam sebelas malam, saya pergi ke satu-satunya toko yang saya tahu masih. Saya memarkir mobil dan beristirahat sejenak dengan menyandarkan kepala di kursi untuk beberapa waktu. "Hari yang sangat berat," pikir saya. Dua anak saya dirawat di rumah sakit, dan yang ketiga tinggal sementara dengan neneknya, saya benar-benar kekelahan. Hari ini saya harus mengikuti test CPR (Cardiopulmonray Resuscitation - pertolongan pertama dengan nafas buatan) untuk bayi yang diselenggarakan oleh rumah sakit sebelum saya diperbolehkan membawa Joel yang berumur delapan minggu pulang dari rumah sakit. "Di saat kritis seperti ini, bagaimana saya bisa mengingat cara melakukan CPR?" pikiran saya terasa buntu saat harus mengisi jawaban di lembar-lembar soal. Dalam keletihan yang menusuk, saya mengambil daftar belanjaan untuk kebutuhan satu minggu. Bagi saya daftar itu lebih menyerupai daftar ilmiah. Beberapa hari belakangan ini saya serius mempelajari penyakit diabetes anak-anak, karena Jenna, anak perempuan saya yang berumur enam tahun didiagnosa menderita penyakit tersebut. Sebagai tambahan belajar untuk menghadapi tes CPR, saya juga harus belajar cara memeriksa darah Jenna dan memberi suntikan insulin. Sekarang saya harus membeli makanan yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan insulin yang dapat mempertahankan hidup Jenna. "Ayo pergi Janet," saya berkata pada diri sendiri sambil membuka pintu mobil. "Besok adalah hari yang penting! Dua anakmu akan pulang dari rumah sakit." ... Segera keluhan saya berubah menjadi sebuah doa. "Tuhan, saya sangat takut! Bagaimana kalau saya salah dan memberi insulin terlalu banyak untuk Jenna, atau saya salah menakar makanan untuknya, atau jika Jenna diluar pengetahuan saya makan makanan yang dilarang? Tuhan, bagaimana dengan monitor apnea untuk Joel? Bagaimana jika alat itu mati? Bagaimana jika dia kekurangan oksigen dan saya panik? Bagaimana jika semuanya itu terjadi? Oh, saya harus memikul tanggung jawab sangat berat." Pikiran itu berputar-putar membuat saya menggigil. Segera saya mencoba menjauhkan pikiran saya dari semua beban yang saya hadapi. Saya mencoba menguatkan diri dengan mengingat firman Tuhan yang saya tahu pasti benar, "Saya bisa melakukan semuanya itu melalui Kristus yang memberi saya kekuatan. Saya bisa melakukan semuanya ..." Seperti seorang anak yang tidak pernah menyerah jika disuruh, saya segera mengambil dompet, mengunci mobil dan begegas masuk ke toko swalayan. Ternyata tata letak barang-barang di toko baru saja dirubah, berbeda dengan yang biasanya saya lihat. Saya harus mencari-cari dahulu barang belanjaan saya dengan naik turun lantai atas dan bawah. Segera saya memegang sekotak sereal, membaca labelnya, mencoba menemukan kandungan gula dan karbohidratnya. "Apakah tiga perempat sendok sereal tepat untuk Jenna?" Karena tidak menemukan sereal yang "bebas gula" saya mengambil flake jagung Kellogg dan melanjutkan berbelanja. Saya berhenti, dan mundur. "Apakah saya harus membeli jus buah untuk Jason?" Saya tidak bisa memikirkan apakah diagnosis Jenna akan berpengaruh untuk Jason. "Apakah tidak ada masalah kalau Jason minum jus sementara Jenna makan flake jagung Kellog?" Akhirnya saya berjalan di counter jus dan buah. "Ya, saya butuh jus apel, tetapi berapa banyak? Berapa sering gula darah Jenna menurun sehingga memerlukan jus untuk memperbaikinya? Apakah anak umur enam tahun tahu saat gula darahnya turun? Bagaimana jika ... ?" Saya mulai bertanya-tanya lagi. Saya memegang kotak jus apel dan membaca labelnya. "Jenna perlu lima belas karbohidrat jus saat gula darahnya turun. Tapi kotak jus ini punya kadar karbohidrat tiga puluh dua." Tiba-tiba saya melihat tangan saya mulai bergetar. Saya mencoba membaca ulang label di kotak jus saat saya merasakan air mata turun membasahi mata dan mengalir di pipi. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, saya mengambil enam pak jus apel dan menaruhnya dalam kereta dorong. Merasa frustrasi karena sudah tidak mampu berpikir lagi, saya meremas daftar belanjaan, menutupi wajah dengan kedua tangan dan mulai manangis. "Sayang, apakah kamu baik-baik saja?" terdengar sebuah suara yang lembut bertanya. Saat itu saya pikiran saya begitu kalut sehingga tidak menyadari kehadiran wanita yang sedang berbelanja bersama saya. Saya merasakan tangannya merangkul bahu saya. "Apakah semuanya baik-baik saja? Sayang, apakah uangnya tidak cukup. Coba kalau saya bisa membantu ... ?" Perlahan saya menurunkan tangan yang menutupi wajah dan melihat mata seorang wanita tua dengan rambut putih yang menunggu jawaban saya. "Oh tidak bu," Jawab saya sambil menyeka air mata dan berusaha untuk tenang. "Saya punya cukup uang." "Kalau begitu masalahnya apa, sayang," dia mendesak. "Saya hanya kelelahan. Saya sekarang sedang berbelanja untuk mempersiapkan kedua anak saya pulang dari rumah sakit besok." "Pulang dari rumah sakit! Itu adalah hal yang harus dirayakan. Mengapa kamu tidak mengadakan sebuah pesta!" Dalam beberapa menit, orang asing ini menjadi sahabat saya. Dia mengambil daftar belanjaan saya yang sudah kumal, merapikannya dan menolong saya berbelanja. Dia berada di samping saya sampai setiap barang dalam daftar belanjaan sudah diperoleh. Dia bahkan mendorong kereta belanja sampai ke mobil dan memasukkan belanjaan ke bagasi. Kemudian dia memeluk erat dan melepas saya pergi dengan senyuman yang penuh kasih. Sudah hampir tengah malam, saat saya membereskan belanjaan di dalam rumah; saya menyadari sebuah hal yang telah diajarkan oleh ibu tua itu kepada saya. "Kedua anak saya besok pulang dari rumah sakit!。ノ teriak saya dengan gembira. "Joel akan bisa bergerak bebas dengan dibantu alat monitor. Jenna dan saya akan belajar bagaimana mengendalikan kadar gula darahnya dan bagaimana menyuntik insulin dengan benar." "Dan seperti Tuhan sudah menolong saya di toko swalayan, pasti Tuhan akan menolong saya mengatasi semua masalah yang saya hadapi. Itu semua adalah hal yang harus dirayakan." Saya tertawa pada diri sendiri. "Saya punya alasan untuk merayakannya!" teriak saya di rumah kosong ini. "Mengapa kamu tidak membuat sebuah pesta," suara ibu tua itu kembali terngiang. Benar - besok ada sebuah pesta di rumah ini!
Comments