MELARIKAN DIRI

MELARIKAN DIRI



Saya tidak terlalu sering keluar rumah. Seperti umumnya seorang ibu rumah tangga, saya terlalu sibuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sampai hampir tidak punya waktu untuk diri sendiri.

Sebetulnya tidak selalu seperti itu. Sebelum punya dua anak laki-laki, saya memiliki karir pekerjaan yang cukup baik. Walaupun saya banyak menghabiskan waktu untuk meniti karir, tetapi tampaknya masih ada waktu yang tersisa untuk diri sendiri. Saya meluangkan waktu untuk memanjakan diri di spa atau beristirahat dengan menikmati belanja sepanjang hari. Menenangkan diri adalah bagian penting untuk menumbuhkan citra positif yang saya bentuk.

Setelah berpindah dari ruang kantor untuk bekerja di meja yang ada di dalam kamar tidur di rumah, sekarang saya mempertimbangkan untuk sesekali berjalan-jalan di mall tanpa anak-anak sebagai upaya untuk melarikan diri. Makan siang di restoran karena urusan kerja sudah lama berlalu saat saya memakai baju navy blue yang saat ini sudah ketinggalan jaman. Saya sudah melewati karir yang cukup membanggakan dalam hidup.

Oh, saya bukannya hendak mengeluh. Kehidupan saat ini adalah pilihan saya sendiri. Jadi anda bisa bisa membayangkan saat saya menerima telpon dari agen saya yang mengatakan bahwa penerbit buku pertama saya akan membiayai tour promosi ke seluruh negara bagian dimana seluruh biaya ditanggung oleh mereka.

Pertama kali menerima telpon itu, rencana perjalanan promosi tampak begitu menakutkan bagi saya. Perjalanan terakhir adalah saat saat saya melahirkan. Sudah lebih sari sepuliuh tahun yang lalu, sejak saya bepergian tanpa berbekal kue Goldfish dan peta di dalam koper. Saya harus keluar dari lingkungan yang nyaman sebagai seorang ibu dan melangkah ke dunia - apa? - seorang pebisnis? Mengganti sepatu kanfas dengan sepatu hak tinggi? Keluar dari ruang cuci pindah ke studio TV? Apakah saya bisa menghadapi itu semua? Saya membayangkan. Apakah mereka tidak bisa menangkap dan menyadari bahwa saya hanya seorang ibu rumah tangga?

Tetapi kemudian saya mempertimbangkan manfaat dari perjalanan ini. Saya bisa terbang sendiri, makan malam sendiri dan tidur di hotel mewah sendiri. Sepanjang waktu, saya bisa menikmatinya hidup saya sendiri. Tidak ada kotak makan yang harus disiapkan. Tidak ada latihan basket. Tidak ada jam empat sore yang panik karena harus menyiapkan makan malam. Saya mulai merencanakan hal-hal pribadi yang akan saya bisa lakukan.

Saya bisa mengunjungi semua museum yang terkenal di masing-masing kota dan bisa mengamati semua maha karya sepuas-puasnya tanpa harus membagi perhatian kepada anak laki-laki saya yang keluyuran karena baru bisa berjalan. Saya bisa berbelanja dengan tenang tanpa mengejar anak-anak dan berkata, "Jangan sentuh itu!" Saya akan menikmati jamuan makan malam bukannya sibuk menyiapkan makan. Semua itu terdengar semakin baik dan semakin menarik.

Akhirnya setelah memastikan bahwa kulkas sudah penuh dengan persediaan makanan dan keranjang cucian sudah kosong, saya berangkat menempuh perjalanan seorang sendiri. Saat pesawat tinggal landas, saya menghela nafas panjang. Ini pertama kali saya naik pesawat sendiri setelah tiga belas tahun - walaupun hanya untuk seminggu.

Rasa ingin tahu untuk melakukan perjalanan seorang diri ternyata: Sebagai ganti merasa seperti seorang dewasa, kenyataannya saya lebih merasa seperti seorang anak kecil! Saya bisa sepuasnya melihat keluar jendela pesawat mengamati hamparan awan putih tanpa mempedulikan orang lain. Saya bisa membayangkan apa saja. Saya tidak perlu merapikan tempat tidur.Saya hanya menjatuhkan handuk di lantai kamar mandi dan siang harinya ada pelayan hotel yang membereskan. Saya bisa memesan menu makanan apa saja tanpa kuatir kekurangan uang saat membayar - karena semuanya sudah ditanggung oleh penerbit buku.

Bahkan pencuci mulut - saya bisa mengambil sampai dua kali.

Sebagai ganti mengantar anak-anak ke sekolah dan les serta memastikan selalu tepat waktu, saya punya pemandu pribadi yang mengantar perjalanan di tiap kota dan rumah makan. Mereka selalu mengingatkan saya untuk selalu menepati waktu. Saat mereka berkonsentrasi melihat arah perjalanan saya bisa melihat-lihat pemandangan, bunga-bunga dan orang-orang - segala sesuatu yang tidak bisa dilihat saat menyopir mobil sendiri.

Akan tetapi kereta gantung San Fransisco dan kapsul Angkasa di Seattle membuat saya rindu pada keluarga. Penerbangan di atas gunung St. Helena dan melihat pemandangan atas kota New York saat mendekati JFK adalah hal indah yang harus dibagikan. Tetapi orang yang duduk di samping saya justru sedang tidur pulas.

Ketika menunggu di Denver, saya melihat seorang ibu yang susah payah menjaga anaknya yang baru bisa berjalan di sepanjang terminal. Dia minta maaf saat mereka menabrak tas saya. "Tidak apa-apa," saya tersenyum. "Saya juga punya anak kecil."

Tetapi setelah berhari-hari tidak mengerjakan semua tugas seorang ibu rumah tangga, saya merasa ada hal yang aneh. Saya sudah berubah menjadi orang lain, yang buru-buru ingin saya tinggalkan. Saya tahu, harus segera kembali ke kehidupan normal sebagai seorang ibu rumah tangga, yang selama ini sudah melekat di hati.

Menjadi sangat jelas bagi saya bahwa bagi seorang ibu, pulang ke rumah adalah sebuah keinginan utama. Tidak peduli apakah itu berlayar di kepulauan Karibia atau berbelanja perhiasan seorang diri, saya tahu sekarang arti pentingnya sebuah keluarga.

Begitu tiba di rumah, saya melihat kedua anak laki-laki saya seperti para malaikat kecil. Keranjang cucian yang penuh bukan lagi menjadi beban, tetapi sebuah tantangan. Saya mulai mengisi lagi kulkas yang hampir kosong. Saya segar kembali. Saya sudah berada di rumah lagi.

Seminggu kemudian, sambil telinga mendengarkan celoteh anak-anak, saya memutuskan untuk menulis sebuah buku yang lain.

---------------------------------------
(Oleh Kimberly Ann Porrazzo)
-------------------------------------------------------------------- PESTA ====Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam===== ALUMNI

Comments

Popular posts from this blog

FREEDOM OF LIFE

TAWA DI TENGAH HUJAN

KISAH DUA PEDAGANG PERMEN