Anti Mainstream di Euro 2016
Terlepas dari kekecewaan saya karena tim andalan saya Belanda tidak bisa berkiprah di ajang ini, Euro 2016 kali ini memberikan makna yang berbeda bagi saya dibanding gelaran sebelumnya. Munculnya tim-tim sepakbola anti mainstream (jika tidak mau disebut antah berantah), seperti Albania, Irlandia Utara, Islandia, Wales, Slovakia memberikan warna tersendiri bagi perhelatan akbar dunia tendang bola benua biru.
Terima kasih kepada Michél Platini, legenda sekaligus mantan Sekjen UEFA dari negara penyelenggara yang memungkinkan hal ini bisa terjadi dengan memperluas kesempatan bagi tim-tim seperti ini mendapat panggung yang selama ini hanya milik tim-tim yang serba mapan. Terpilihnya Perancis menjadi tuan rumah kali ini juga seakan mau menegaskan penghormatan bagi para le français (warga Perancis) yang menjadi pembaharu sepak bola yang warganya seperti Jules Rimet (penggagas Piala Dunia), Henri Deulanay (penggagas Piala Eropa), Robert Guérin (Presiden FIFA pertama), sehingga menjadikan olahraga ini menjadi tontonan nomor satu.
Kehadiran tim-tim gurem di panggung tertinggi ini, walaupun saya yakin belum akan menggantikan kedigdayaan tim mapan seperti Die Mannschaft, La Furia Roja, Gli Azzuri, The Three Lions maupun Les Blues, bisa jadi merupakan sinyal bahwa fenomenologi anti mainstream, sebenarnya adalah milik global. Melengkapi fenomena kehadiran media sosial yang menjadi katalisator utama dalam meluasnya kontribusi individu pada ranah yang sebelumnya milik kaum elitis, dunia ini sudah semakin egalitis. Saya sendiri tidak bisa menyematkan label postmodernisme atau setelah (after) postmodernisme terhadap fenomena ini, namun yang pasti genre ini semakin mendapat tempat dalam tatanan masyarakat virtual saat ini.
Setuju atau tidak, fenomena anti mainstream ini mendapat angin karena kegagalan kaum mapan untuk menjawab tantangan jaman. Setiap orang bisa bermimpi menjadi siapa dan apa saja tanpa memandang latar belakang seseorang. Lahir dari kaum proletar, saya sudah merasakan hal tersebut secara pribadi. Bukan suatu kebetulan, saya (baca: kita) berada dalam suatu era di mana (banyak) pengambil keputusan di tempat saya hidup, sudah memiliki paradigma untuk berkolaborasi dengan tantangn jaman ini dan saya bersyukur untuknya.
Sebagaimana dengan angin perubahan, tetap di mana saja tetap ada anasir yang masih belum move on. Kaum koppeg in masih tenggelam dengan nostalgia masa lalu sambil menuding kaum reformis sebagai gang anak kemarin sore yang mau mengatur-ngatur. Charles Darwin sudah memperingatkan bahwa hanya spesies yang beradaptasilah yang mampu bertahan, kalau tidak ia akan tergerus oleh perubahan itu sendiri, atau setidaknya tidaklah usah memberikan resistensi.
Dalam Piala Eropa kali ini, move on bagi saya berarti tidak tenggelam dengan kegagalan Belanda yang tidak bisa berkiprah. Move on bagi saya berarti mencoba menikmati kiprah tim anti mainstream dalam ajang ini.
Merayakan kemenangan Irlandia Utara 2-0 atas Ukraina mungkin menjadi pelipur lara bagi saya. Dan saya menantikan kejutan-kejutan manis seperti ini lagi,
Selamat menikmati riuhnya sepak bola benua biru....
Comments