Profesor X, Magneto dan Suatu Harapan

Dalam cerita X-Men, Profesor X (Charles Xavier) dan Magneto (Max Eisenhardt) adalah dua sahabat karib kemudian menjadi pimpinan dua kelompok mutan (suatu subspesies manusia yang dilahirkan dengan kemampuan super) yang kemudian bertarung satu sama lain walaupun awalnya apa yang mereka perjuangkan adalah sama. Pada dasarnya kelompok mutan ini (X-Men) berjuang demi tercapainya perdamaian dan kesetaraan antara manusia normal dan para mutan dan melawan penindasan dan permusuhan dari kelompok manusia yang anti mutan.
Kelompok pertama dipimpin oleh Profesor X, seorang mutan dengan kemampuan telepati dan membaca pikiran memiliki pandangan dan filosofi yang berlawanan dengan kelompok yang kedua di bawah pimpinan Magneto, seorang mutan dengan kemampuan mengendalikan logam, dalam hal bagaimana berinteraksi dengan kelompok manusia normal. Profesor X percaya bahwa selalu ada upaya perdamaian dan kerja sama dengan manusia normal, sementara Magneto melihat manusia sebagai ancaman dan percaya bahwa langkah agresif adalah pendekatan yang tepat.
Dalam suatu adegan dalam X-Men : Apocalypse (2016), perbedaan itu dinyatakan dalam satu kata : Hope atau harapan. Profesor X (James McAvoy) percaya bahwa masih ada harapan untuk sebuah relasi yang baik antara mutan dan manusia, sementara Magneto (Michael Fassbender) menafikan harapan itu dan memandang hostilitas adalah sikap yang sepadan diambil oleh kaum mutan.
Dalam suatu gerakan, apapun itu, sikap untuk tetap menyalakan harapan dalam interaksi akan selalu dianggap sebuah kelemahan. Sikap ini akan dicap sebagai melemahkan arah perjuangan, kompromistis bahkan sangat rawan dituduh sebagai suatu pengkhianatan.
Anasir yang melakukan mediasi akan dianggap sebagai kandidat penikam dari belakang. Apakah ini benar? Sementara dipihak lain, hostilitas akan selalu dianggap sebagai unsur anarkis, emosional bahkan lebih parah lagi dicap sebagai radikal. Apapun alasannya hostilitas selalu akan menimbulkan kerusakan yang besar. Dalam hal ini, setiap unsur hanya dapat dilihat dengan dua unsur, hitam atau putih, with me or against me. Sikap inilah yang selalu melahirkan revolusi berdarah dalam setiap lembar sejarah kemanusiaan.
Sejarah berdirinya republik ini juga setidaknya memiliki persamaan dengan cerita di atas. Meskipun tidak bisa disandingkan sebagai apple to apple, namun analoginya tidak bisa dihindarkan. Kelompok tua, seperti Soekarno, Hatta berbanding dengan kelompok muda, seperti Sayuti Melik dan kawan-kawan. Di satu pihak sikap kolaboratif dipandang sebagai sikap yang perlu untuk mencapai tujuan Indonesia merdeka, sementara di pihak lain, revolusi dipandang sebagai sikap yang terbaik.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, analogi dua kelompok ini terus ada. Bahkan di tengah kondisi bangsa yang terancam terbelah saat ini, dua sikap ini pun muncul dari dua kelompok yang ada.
Mengingat kerugian yang tidak terelakkan yang muncul dari pandangan kedua, saya pribadi mengamini sikap Profesor X untuk melihat bahwa selalu ada harapan bagi interaksi manusia.
Selalu ada jalan bagi kemanusiaan, karena kita tidak bisa memungkiri bahwa hakikat kita sebagai manusia adalah berinteraksi dengan yang lain dan cara berinteraksi yang terbaik adalah menanggalkan serta melucuti identitas apapun yang berpotensi untuk menafikan harapan itu.
Kompromistis? Identitas kita tidak akan pernah luntur saat kita percaya pada relasi yang baik. Bila kita takut bahwa hal itu akan menihilkan identitas kita, yakinilah bahwa anda sebenarnya anda menyandang identitas palsu.

Comments

Popular posts from this blog

FREEDOM OF LIFE

TAWA DI TENGAH HUJAN

KISAH DUA PEDAGANG PERMEN